Senin, 19 Maret 2012

TUGAS KELOMPOK SOFTSKILL KEWARGANEGARAAN

“HAK ASASI MANUSIA”
Dibuat untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Pengantar Pendidikan Kewarganegaraan
Disusun oleh:
Agustinus                                                                                                      10210347
Mayang Hadi Ratnawati                                                                             14210298
Filemond Wisnugroho                                                                                         12210782 
Anastha Novelia                                                                                           10210649
Nur Anastatia                                                                                               10210649
Rohmaniati Pameling                                                                                   19210533
Yohana Setianingrum                                                                                    18210665
Haris Sudibya                                                                                               13210144
Ledhia Arum                                                                                                 13210987
Nidia Puspa Vitaloka                                                                                    14210971
2EA13
UNIVERSITAS GUNADARMA
JURUSAN MANAJEMEN EKONOMI
2011/2012
KATA PENGANTAR

    Puji syukur penulis panjatkan kehadirat ALLAH SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayahnya sehingga kami dapat menyelesaikan Makalah ini dengan baik.
    Makalah ini dibuat untuk melengkapi salah satu tugas perkuliahan dari mata kuliah Pengantar Pancasila. Adapun topik yang penulis gunakan yaitu “HAK ASASI MANUSIA”. 
   
   Pada kesempatan yang baik ini, penulis ingin menyampaikan rasa terimakasih kepada semua pihak yang telah memberikan dukungan dan bimbingan sehingga makalah ini dapat terwujud, terutama kepada :
  • Ibu Ina Heliany,SE.,MM  selaku dosen mata kuliah Pengantar Pendidikan Kewarganegaraan.
  • Keluarga kami, terutama Ibu kami. Yang selalu memberikan dorongan dan semangat, baik moril maupun materil, serta doa’nya yang selalu menyertai kami, sehingga terselesaikannya makalah ini.
  • Teman-teman terdekat kami, yang telah memberikan saran dan bantuannya kepada kami.
Penulis menyadari bahwa penulisan masih jauh dari sempurna, oleh karena itu penulis mengharapkan kritik dan saran serta komentar yang bersifat membangun dan menuju kesempurnaan. 
Akhir kata, penulis mengucapkan terimakasih. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi semua orang yang membaca.
Bekasi, Maret 2012
     
Penulis
DAFTAR ISI
Kata Pengantar

Daftar Isi

Bab I Pendahuluan

A. Latar Belakang

B. Batasan Masalah

C. Tujuan Penulisan

Bab II Pembahasan

A. Sejarah Hak Asasi Manusia

     1. Hak Asasi Manusia di Yunani

     2. Hak Asasi Manusia di Inggris

     3. Hak Asasi Manusia di Amerika Serikat

     4. Hak Asasi Manusia di Prancis

     5. Hak Asasi Manusia oleh PBB

     6. Hak Asasi Manusia di Indonesia

B. Pengertian Hak Asasi Manusia

C. Macam jenis Hak Asasi Manusia yang Berlaku Umum Global

D. Konsep Hak Asasi Manusia dalam UU Nomor 39 Tahun 1999

     1. Konsep dalam UU Nomor 39 Tahun 1999

     2. Hak Asasi Manusia dalam Perspektif Islam

     3. Relevansi konsep Hak Asasi Manusia dalam UU Nomor 39 Tahun 1999 dalam Islam

E. Pelanggaran Hak Asasi Manusia

F. Perkembangan Hak Asasi Manusia

     1. Perdebatan awal tentang Hak Asasi Manusia

     2. Hak Asasi Manusia dalam Konstitusi Baru

     3. Undang-undang Hak Asasi Manusia

G. Ratifikasi Perjanjian Internasional Hak Asasi Manusia

Bab III Penutup

A. Kesimpulan

B. Saran

Daftar Pusaka

 
BAB I
PENDAHULUAN
A.      Latar Belakang
Hak kemanusiaan merujuk kepada hak yang dimiliki oleh semua insan. Konsep Hak kemanusiaan adalah berdasarkan andaian bahasa semua insan memiliki satu bentuk hak yang sama, sebagaimana mereka memiliki indentiti insan, yang tidak dipengarahui oleh faktor tempatan, perkauman dan kewarganegaraan. Pada dasarnya, Hak kemanusiaan boleh difahamkan dari dua segi, yakni dari segi perundangan dan juga dari segi moral. Dari segi perundangan, Hak kemanusian merupakan satu bentuk hak yang dinikmati oleh seorang warga negara seperti apa yang telah termasuk dalam undang-undang negara berkenaan. Contohnya, dalam perlembagaan Malaysia terdapat penerangan mengenai hak kemanusiaan yang terlindung di bawah perlembagaan. Percabulan hak kemanusiaan yang berkenaan, mungkin akan membawa kepada tindakan undang-undang yang sewajarnya. Penakrifan hak kemanusiaan dari segi undang-undang adalah berbeda dari satu negara ke satu negara yang lain.
Dari satu segi moral, Hak Kemanusiaan merupakan satu tanggapan moral yang didukung oleh anggota masyarakat. Sehubungan dengan perkara ini, anggota masyarakat akan mengakui wujudnya hak tertentu yang harus dinikmati oleh setiap individu, yang dianggap sebagai "sebahagian daripada sifatnya sebagai manusia", walaupun ia mungkin tidak termasuk dalam undang-undang. Maka anggota-anggota masyarakat berkenaan akan coba megelakkan diri daripada mencabuli hak masing-masing dengan penuh perasaan moral. Kewujudan, keabsahan dan isi kandungan Hak kemanusiaan telah menjadi isu pendebatan dalam bidang falsafah dan sains politik. Dari segi perundangan, Hak kemanusiaan telah termaktub dan diberi takrifan dalam undang-undang antara bangsa, dan juga dalam undang-undang bagi sesetengah negara. Walaupun begitu,cara penakrifan dan pelakasaan hak kemanusiaan masih memperlihatkan kepelbagaian.
Hak asasi manusia dalam bahasa Prancis disebut “Droit L'Homme”, yang artinya hak-hak manusia dan dalam bahsa Inggris disebut “Human Rights”. Seiring dengan perkembangan ajaran. Negara Hukum, di mana manusia atau warga negara mempunyai hak-hak utama dan mendasar yang wajib dilindungi oleh Pemerintah, maka muncul istilah “Basic Rights” atau “Fundamental Rights”. Bila diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia adalah merupakan hak-hak dasar manusia atau lebih dikenal dengan istilah “Hak asasi manusia”. Di dalam Undang-Undang Nomor 39 tahun 1999 tentang hak asasi manusia, dalam menimbang huruf b ditentukan bahwa Hak asasi manusia merupakan hak dasar yang secara kodrati melekat pada diri manusia, bersifat universal dan langgeng, oleh karena itu harus dilindungi, dihormati, dipertahankan dan tidak boleh diabaikan, dikurangi atau dirampas oleh siapapun.
Pengertian hak asasi dikemukakan oleh para sarjana di atas maupun dalam Undang-undang No. 3 tahun 1999 adalah hak-hak alamiah dari manusia. Leach Levin seorang aktivis hak asasi manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa mengemukakan bahwa konsep hak asasi manusia ada dua pengertian dasar, yaitu : Pertama, ialah bahwa hak asasi manusia tidak bisa dipisahkan dan dicabut adalah hak manusia karena ia sorang manusia. Hak adalah hak-hak moral yang berasal dari kemanusiaan setiap insan dan hak-hak itu bertujuan untuk menjamin matabat setiap manusia (Natural Rights). Kedua, hak asasi manusia adalah hak-hak menurut hukum, yang dibuat melalui proses pembentukan hukum dari masyarakat itu sendiri, baik secara nasional maupun secara internasional. Dasar dari hak-hak ini adalah persetujuan dari yang diperintah, yaitu persetujuan dari para warga negara, yang tunduk kapada hak-hak itu dan tidak hanya tata tertib alamiah yang merupakan dasar dari arti yang pertama.(Levin, Leach; terjemahan Ny.Nartomo;1987 :3).
Pengertian hak asasi manusia sebagai hak-hak menurut hukum mempunyai pengertian yang lebih luas, bukan saja hak-hak alamiah atau hak moral saja, tetapi juga meliputi hak - hak menurut hukum yang dibuat oleh badan yang berwenang dalam Negara. Yang dimaksud dengan hak dalam pembicaraan mengenai hak asasi manusia diartikan sebagai suatu lingkungan keadaan atau daerah kebebasan bertindak dimana pemerintah tidak mengadakan pembatasannya, sehingga membiarkan kepada individu atau perseorangan untuk memilih sendiri. Oleh karena itu maka hak mengandung arti membatasi kekuasaan berdaulat dari pemerintah.
Di Indonesia berdasarkan Perubahan UUD 1945 dalam Bab XA ditentukan mengenai Hak Asasi manusia. Namun kaitannya dengan hak-hak di bidang ekonomi, sosial dan budaya identifikasinya belum rinci dan jelas. Oleh karena hak-hak yang berkaitan dengan hak dibidang ekonomi, sosial dam budaya masih tersebar dalam pasal-pasal yang ada. Dengan penelusuran melalui pendekatan sejarah, maka ditemukan perkembangan dari ha-hak dibidang ekonomi, sosial dan budaya.
B.       Batasan Masalah
1.      Apa yang dimaksud dengan HAM?
2.      Bagaimana sejarah HAM?
3.      Apa saja macam dan jenis HAM?
4.      Bagaiman Konsep Hak Asasi Manusia dalam UU. Nomor 39 Tahun 1999?
5.      Contoh pelanggaran HAM apa saja yang pernah terjadi?
6.      Bagaimana perkembangan HAM di Indonesia?
C.       Tujuan Penulisan
1.      Agar mahasiswa mengerti tentang HAM
2.      Agar mahasiswa dapat mengetahui sejarah HAM
3.      Mengetahui macam dan jenis HAM
4.      Mengetahui Konsep Hak Asasi Manusia dalam UU. Nomor 39 Tahun 1999
5.      Agar mahasiswa mengetahui permasalahan yang pernah terjadi terhadap HAM
6.      Mengetahui perkembangan HAM di Indonesia
 
BAB II
PEMBAHASAN

A.      Sejarah Hak Asasi Manusia

1.      Hak Asasi Manusia di Yunani

Filosof Yunani, seperti Socrates (470-399 SM) dan Plato (428-348 SM) meletakkan dasar bagi perlindungan dan jaminan diakuinya hak – hak asasi manusia. Konsepsinya menganjurkan masyarakat untuk melakukan sosial kontrol kepada penguasa yang zalim dan tidak mengakui nilai-nilai keadilan dan kebenaran. Aristoteles (348-322 SM) mengajarkan pemerintah harus mendasarkan kekuasaannya pada kemauan dan kehendak warga negaranya.

2.      Hak Asasi Manusia di Inggris

Inggris sering disebut–sebut sebagai negara pertama di dunia yang memperjuangkan hak asasi manusia. Tonggak pertama bagi kemenangan hak-hak asasi terjadi di Inggris. Perjuangan tersebut tampak dengan adanya berbagai dokumen kenegaraan yang berhasil disusun dan disahkan. Dokumen-dokumen tersebut adalah sebagai berikut :

1.    MAGNA CHARTA

Pada awal abad XII Raja Richard yang dikenal adil dan bijaksana telah diganti oleh Raja John Lackland yang bertindak sewenang–wenang terhadap rakyat dan para bangsawan. Tindakan sewenang-wenang Raja John tersebut mengakibatkan rasa tidak puas dari para bangsawan yang akhirnya berhasil mengajak Raja John untuk membuat suatu perjanjian yang disebut Magna Charta atau Piagam Agung. Magna Charta dicetuskan pada 15 Juni 1215 yang prinsip dasarnya memuat pembatasan kekuasaan raja dan hak asasi manusia lebih penting daripada kedaulatan raja. Tak seorang pun dari warga negara merdeka dapat ditahan atau dirampas harta kekayaannya atau diasingkan atau dengan cara apapun dirampas hak-haknya, kecuali berdasarkan pertimbangan hukum. Piagam Magna Charta itu menandakan kemenangan telah diraih sebab hak-hak tertentu yang prinsip telah diakui dan dijamin oleh pemerintah. Piagam tersebut menjadi lambang munculnya perlindungan terhadap hak-hak asasi karena ia mengajarkan bahwa hukum dan undang-undang derajatnya lebih tinggi daripada kekuasaan raja.

Isi Magna Charta adalah sebagai berikut :

a. Raja beserta keturunannya berjanji akan menghormati kemerdekaan, hak, dan kebebasan Gereja Inggris.

b. Raja berjanji kepada penduduk kerajaan yang bebas untuk memberikan hak-hak sebagi berikut :

1.      Para petugas keamanan dan pemungut pajak akan menghormati hak-hak penduduk.

2.      Polisi ataupun jaksa tidak dapat menuntut seseorang tanpa bukti dan saksi yang sah.

3.      Seseorang yang bukan budak tidak akan ditahan, ditangkap, dinyatakan bersalah tanpa perlindungan negara dan tanpa alasan hukum sebagai dasar tindakannya.

4.    Apabila seseorang tanpa perlindungan hukum sudah terlanjur ditahan, raja berjanji akan mengoreksi kesalahannya.

2.    PETITION OF RIGHTS
Pada dasarnya Petition of Rights berisi pertanyaan-pertanyaan mengenai hak-hak rakyat beserta jaminannya. Petisi ini diajukan oleh para bangsawan kepada raja di depan parlemen pada tahun 1628. Isinya secara garis besar menuntut hak-hak sebagai berikut :
a.       Pajak dan pungutan istimewa harus disertai persetujuan.
b.      Warga negara tidak boleh dipaksakan menerima tentara di rumahnya.
c.       Tentara tidak boleh menggunakan hukum perang dalam keadaan damai.
3.    HOBEAS CORPUS ACT
Hobeas Corpus Act adalah undang- undang yang mengatur tentang penahanan seseorang dibuat pada tahun 1679. Isinya adalah sebagai berikut :
1.      Seseorang yang ditahan segera diperiksa dalam waktu 2 hari setelah penahanan.
2.      Alasan penahanan seseorang harus disertai bukti yang sah menurut hukum.
4.    BILL OF RIGHTS
Bill of Rights merupakan undang-undang yang dicetuskan tahun 1689 dan diterima parlemen Inggris, yang isinya mengatur tentang :
1.      Kebebasan dalam pemilihan anggota parlemen.
2.      Kebebasan berbicara dan mengeluarkan pendapat.
3.      Pajak, undang-undang dan pembentukan tentara tetap harus seizin parlemen.
4.      Hak warga Negara untuk memeluk agama menurut kepercayaan masing-masing
5.      Parlemen berhak untuk mengubah keputusan raja.
3.    Hak Asasi Manusia di Amerika Serikat
Pemikiran filsuf John Locke (1632-1704) yang merumuskan hak-hak alam,seperti hak atas hidup, kebebasan, dan milik (life, liberty, and property) mengilhami sekaligus menjadi pegangan bagi rakyat Amerika sewaktu memberontak melawan penguasa Inggris pada tahun 1776. Pemikiran John Locke mengenai hak – hak dasar ini terlihat jelas dalam Deklarasi Kemerdekaan Amerika Serikat yang dikenal dengan DECLARATION OF INDEPENDENCE OF THE UNITED STATES.
Revolusi Amerika dengan Declaration of Independence-nya tanggal 4 Juli 1776, suatu deklarasi kemerdekaan yang diumumkan secara aklamasi oleh 13 negara bagian, merupakan pula piagam hak – hak asasi manusia karena mengandung pernyataan “Bahwa sesungguhnya semua bangsa diciptakan sama derajat oleh Maha Pencipta. Bahwa semua manusia dianugerahi oleh Penciptanya hak hidup, kemerdekaan, dan kebebasan untuk menikmati kebhagiaan. John Locke menggambarkan keadaan status naturalis, ketika manusia telah memiliki hak-hak dasar secara perorangan. Dalam keadaan bersama-sama, hidup lebih maju seperti yang disebut dengan status civilis, locke berpendapat bahwa manusia yang berkedudukan sebagai warga negara hak-hak dasarnya dilindungi oleh negara. Declaration of Independence di Amerika Serikat menempatkan Amerika sebagai negara yang memberi perlindungan dan jaminan hak-hak asasi manusia dalam konstitusinya, kendatipun secara resmi rakyat Perancis sudah lebih dulu memulainya sejak masa Rousseau. Kesemuanya atas jasa presiden Thomas Jefferson presiden Amerika Serikat lainnya yang terkenal sebagai “pendekar” hak asasi manusia adalah Abraham Lincoln, kemudian Woodrow Wilson dan Jimmy Carter. Amanat Presiden Flanklin D. Roosevelt tentang “empat kebebasan” yang diucapkannya di depan Kongres Amerika Serikat tanggal 6 Januari 1941 yakni :
a.    Kebebasan untuk berbicara dan melahirkan pikiran (freedom of speech and expression).
b.    Kebebasan memilih agama sesuai dengan keyakinan dan kepercayaannya (freedom of religion).
c.    Kebebasan dari rasa takut (freedom from fear).
d.   Kebebasan dari kekurangan dan kelaparan (freedom from want).
Kebebasan- kebebasan tersebut dimaksudkan sebagai kebalikan dari kekejaman dan penindasan melawan fasisme di bawah totalitarisme Hitler (Jerman), Jepang, dan Italia. Kebebasan – kebebasan tersebut juga merupakan hak (kebebasan) bagi umat manusia untuk mencapai perdamaian dan kemerdekaan yang abadi. Empat kebebasan Roosevelt ini pada hakikatnya merupakan tiang penyangga hak-hak asasi manusia yang paling pokok dan mendasar.
4.    Hak Asasi Manusia di Prancis
Perjuangan hak asasi manusia di Prancis dirumuskan dalam suatu naskah pada awal Revolusi Prancis. Perjuangan itu dilakukan untuk melawan kesewenang-wenangan rezim lama. Naskah tersebut dikenal dengan DECLARATION DES DROITS DE L’HOMME ET DU CITOYEN yaitu pernyataan mengenai hak-hak manusia dan warga negara. Pernyataan yang dicetuskan pada tahun 1789 ini mencanangkan hak atas kebebasan, kesamaan, dan persaudaraan atau kesetiakawanan (liberte, egalite, fraternite).
Lafayette merupakan pelopor penegakan hak asasi manusia masyarakat Prancis yang berada di Amerika ketika Revolusi Amerika meletus dan mengakibatkan tersusunnya Declaration des Droits de I’homme et du Citoyen. Kemudian di tahun 1791, semua hak-hak asasi manusia dicantumkan seluruhnya di dalam konstitusi Prancis yang kemudian ditambah dan diperluas lagi pada tahun 1793 dan 1848. Juga dalam konstitusi tahun 1793 dan 1795. revolusi ini diprakarsai pemikir – pemikir besar seperti : J.J. Rousseau, Voltaire, serta Montesquieu. Hak Asasi yang tersimpul dalam deklarasi itu antara lain :
1)   Manusia dilahirkan merdeka dan tetap merdeka.
2)   Manusia mempunyai hak yang sama.
3)   Manusia merdeka berbuat sesuatu tanpa merugikan pihak lain.
4)   Warga Negara mempunyai hak yang sama dan mempunyai kedudukan serta pekerjaan umum.
5)   Manusia tidak boleh dituduh dan ditangkap selain menurut undang-undang.
6)   Manusia mempunai kemerdekaan agama dan kepercayaan.
7)   Manusia merdeka mengeluarkan pikiran.
8)   Adanya kemerdekaan surat kabar.
9)   Adanya kemerdekaan bersatu dan berapat.
10)    Adanya kemerdekaan berserikat dan berkumpul.
11)    Adanya kemerdekaan bekerja,berdagang, dan melaksanakan kerajinan.
12)    Adanya kemerdekaan rumah tangga.
13)    Adanya kemerdekaan hak milik.
14)    Adanya kemedekaan lalu lintas.
15)    Adanya hak hidup dan mencari nafkah.
     5.   Hak Asasi Manusia oleh PBB
Setelah perang dunia kedua, mulai tahun 1946, disusunlah rancangan piagam hak-hak asasi manusia oleh organisasi kerja sama untuk sosial ekonomi Perserikatan Bangsa-Bangsa yang terdiri dari 18 anggota. PBB membentuk komisi hak asasi manusia (commission of human right). Sidangnya dimulai pada bulan januari 1947 di bawah pimpinan Ny. Eleanor Rossevelt. Baru 2 tahun kemudian, tanggal 10 Desember 1948 Sidang Umum PBB yang diselenggarakan di Istana Chaillot, Paris menerima baik hasil kerja panitia tersebut. Karya itu berupa UNIVERSAL DECLARATION OF HUMAN RIGHTS atau Pernyataan Sedunia tentang Hak – Hak Asasi Manusia, yang terdiri dari 30 pasal. Dari 58 Negara yang terwakil dalam sidang umum tersebut, 48 negara menyatakan persetujuannya, 8 negara abstain, dan 2 negara lainnya absen. Oleh karena itu, setiap tanggal 10 Desember diperingati sebagai hari Hak Asasi Manusia. Universal Declaration of Human Rights antara lain mencantumkan, Bahwa setiap orang mempunyai Hak :
1.      Hidup
2.      Kemerdekaan dan keamanan badan
3.      Diakui kepribadiannya
4.      Memperoleh pengakuan yang sama dengan orang lain menurut hukum untuk mendapat jaminan hokum dalam perkara pidana, seperti diperiksa di muka umum, dianggap tidak bersalah kecuali ada bukti yang sah
5.      Masuk dan keluar wilayah suatu Negara
6.      Mendapatkan asylum
7.      Mendapatkan suatu kebangsaan
8.      Mendapatkan hak milik atas benda
9.      Bebas mengutarakan pikiran dan perasaan
10.  Bebas memeluk agama
11.  Mengeluarkan pendapat
12.  Berapat dan berkumpul
13.  Mendapat jaminan social
14.  Mendapatkan pekerjaan
15.  Berdagang
16.  Mendapatkan pendidikan
17.  Turut serta dalam gerakan kebudayaan dalam masyarakat
18.  Menikmati kesenian dan turut serta dalam kemajuan keilmuan
Majelis umum memproklamirkan Pernyataan Sedunia tentang Hak Asasi Manusia itu sebagai tolak ukur umum hasil usaha sebagai rakyat dan bangsa dan menyerukan semua anggota dan semua bangsa agar memajukan dan menjamin pengakuan dan pematuhan hak-hak dan kebebasan- kebebasan yang termasuk dalam pernyataan tersebut. Meskipun bukan merupakan perjanjian, namun semua anggota PBB secara moral berkewajiban menerapkannya.
6.    Hak Asasi Manusia di Indonesia
Hak Asasi Manusia di Indonesia bersumber dan bermuara pada pancasila. Yang artinya Hak Asasi Manusia mendapat jaminan kuat dari falsafah bangsa, yakni Pancasila. Bermuara pada Pancasila dimaksudkan bahwa pelaksanaan hak asasi manusia tersebut harus memperhatikan garis-garis yang telah ditentukan dalam ketentuan falsafah Pancasila. Bagi bangsa Indonesia, melaksanakan hak asasi manusia bukan berarti melaksanakan dengan sebebas-bebasnya, melainkan harus memperhatikan ketentuan-ketentuan yang terkandung dalam pandangan hidup bangsa Indonesia, yaitu Pancasila. Hal ini disebabkan pada dasarnya memang tidak ada hak yang dapat dilaksanakan secara multak tanpa memperhatikan hak orang lain.
Setiap hak akan dibatasi oleh hak orang lain. Jika dalam melaksanakan hak, kita tidak memperhatikan hak orang lain,maka yang terjadi adalah benturan hak atau kepentingan dalam hidup bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Negara Republik Indonesia mengakui dan menjunjung tinggi hak asasi manusia dan kebebasan dasar manusia sebagai hak yang secara kodrati melekat dan tidak terpisah dari manusia yang harus dilindungi, dihormati, dan ditegakkan demi peningkatan martabat kemanusisan, kesejahteraan, kebahagiaan, dan kecerdasan serta keadilan. Berbagai instrumen hak asasi manusia yang dimiliki Negara Republik Indonesia,yakni:
a.    Undang – Undang Dasar 1945
b.    Ketetapan MPR Nomor XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia
c.    Undang – Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia
Di Indonesia secara garis besar disimpulkan, hak-hak asasi manusia itu dapat dibeda-bedakan menjadi sebagai berikut :
a. Hak – hak asasi pribadi (personal rights) yang meliputi kebebasan menyatakan pendapat, kebebasan memeluk agama, dan kebebasan bergerak.
b.  Hak – hak asasi ekonomi (property rights) yang meliputi hak untuk memiliki sesuatu, hak untuk membeli dan menjual serta memanfaatkannya.
c.    Hak – hak asasi politik (political rights) yaitu hak untuk ikut serta dalam pemerintahan, hak pilih (dipilih dan memilih dalam pemilu) dan hak untuk mendirikan partai politik.
d.   Hak asasi untuk mendapatkan perlakuan yang sama dalam hukum dan pemerintahan ( rights of legal equality).
e.    Hak – hak asasi sosial dan kebudayaan ( social and culture rights). Misalnya hak untuk memilih pendidikan dan hak untukmengembangkan kebudayaan.
f.  Hak asasi untuk mendapatkan perlakuan tata cara peradilan dan perlindungan (procedural rights). Misalnya peraturan dalam hal penahanan, penangkapan, penggeledahan, dan peradilan.
Secara konkret untuk pertama kali Hak Asasi Manusia dituangkan dalam Piagam Hak Asasi Manusia sebagai lampiran Ketetapan Permusyawarahan Rakyat Republik Indonesia Nomor XVII/MPR/1998.

B.       Pengertian HAM

Hak asasi manusia adalah hak dasar yang dimiliki manusia sejak manusia itu dilahirkan. Hak asasi dapat dirumuskan sebagai hak yang melekat dengan kodrat kita sebagai manusia yang bila tidak ada hak tersebut, mustahil kita dapat hidup sebagai manusia. Hak ini dimiliki oleh manusia semata – mata karena ia manusia, bukan karena pemberian masyarakat atau pemberian negara. Maka hak asasi manusia itu tidak tergantung dari pengakuan manusia lain, masyarakat lain, atau Negara lain. Hak asasi diperoleh manusia dari Penciptanya, yaitu Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan hak yang tidak dapat diabaikan. Sebagai manusia, ia makhluk Tuhan yang mempunyai martabat yang tinggi. Hak asasi manusia ada dan melekat pada setiap manusia. Oleh karena itu, bersifat universal, artinya berlaku di mana saja dan untuk siapa saja dan tidak dapat diambil oleh siapapun. Hak ini dibutuhkan manusia selain untuk melindungi diri dan martabat kemanusiaanya juga digunakan sebagai landasan moral dalam bergaul atau berhubungan dengan sesama manusia.
Pada setiap hak melekat kewajiban. Karena itu,selain ada hak asasi manusia, ada juga kewajiban asasi manusia, yaitu kewajiban yang harus dilaksanakan demi terlaksana atau tegaknya hak asasi manusia (HAM). Dalam menggunakan Hak Asasi Manusia, kita wajib untuk memperhatikan, menghormati, dan menghargai hak asasi yang juga dimiliki oleh orang lain. Kesadaran akan hak asasi manusia , harga diri , harkat dan martabat kemanusiaannya, diawali sejak manusia ada di muka bumi. Hal itu disebabkan oleh hak – hak kemanusiaan yang sudah ada sejak manusia itu dilahirkan dan merupakan hak kodrati yang melekat pada diri manusia. Sejarah mencatat berbagai peristiwa besar di dunia ini sebagai suatu usaha untuk menegakkan hak asasi manusia.
Melanggar HAM seseorang bertentangan dengan hukum yang berlaku di Indonesia. Hak asasi manusia memiliki wadah organisasi yang mengurus permasalahan seputar hak asasi manusia yaitu Komnas HAM. Kasus pelanggaran ham di Indonesia memang masih banyak yang belum terselesaikan / tuntas sehingga diharapkan perkembangan dunia ham di Indonesia dapat terwujud ke arah yang lebih baik. Salah satu tokoh HAM di Indonesia adalah Munir yang tewas dibunuh di atas pesawat udara saat menuju Belanda dari Indonesia.
C.      Macam Jenis Hak Asasi Manusia / HAM yang Berlaku Umum Global

Pembagian Bidang, Jenis dan Macam Hak Asasi Manusia Dunia :
 
1.      Hak asasi pribadi / personal Right
a.       Hak kebebasan untuk bergerak, bepergian dan berpindah-pindah tempat.
b.      Hak kebebasan mengeluarkan atau menyatakan pendapat.
c.       Hak kebebasan memilih dan aktif di organisasi atau perkumpulan.
d.      Hak kebebasan untuk memilih, memeluk, dan menjalankan agama dan kepercayaan yang diyakini masing-masing.
2.      Hak asasi politik / Political Right
a.       Hak untuk memilih dan dipilih dalam suatu pemilihan.
b.      Hak ikut serta dalam kegiatan pemerintahan.
c.       Hak membuat dan mendirikan parpol / partai politik dan organisasi politik lainnya.
d.      Hak untuk membuat dan mengajukan suatu usulan petisi.
3.      Hak asasi hukum / Legal Equality Right
a.       Hak mendapatkan perlakuan yang sama dalam hukum dan pemerintahan.
b.      Hak untuk menjadi pegawai negeri sipil / pns.
c.       Hak mendapat layanan dan perlindungan hukum.
4.      Hak asasi Ekonomi / Property Rigths
a.       Hak kebebasan melakukan kegiatan jual beli.
b.      Hak kebebasan mengadakan perjanjian kontrak.
c.       Hak kebebasan menyelenggarakan sewa-menyewa, hutang-piutang, dll.
d.      Hak kebebasan untuk memiliki susuatu.
e.       Hak memiliki dan mendapatkan pekerjaan yang layak
5.      Hak Asasi Peradilan / Procedural Rights
a.       Hak mendapat pembelaan hukum di pengadilan.
b.      Hak persamaan atas perlakuan penggeledahan, penangkapan, penahanan dan penyelidikan di mata hukum.
6.      Hak asasi sosial budaya / Social Culture Right
a.       Hak menentukan, memilih dan mendapatkan pendidikan.
b.      Hak mendapatkan pengajaran.
c.       Hak untuk mengembangkan budaya yang sesuai dengan bakat dan minat
D.  Konsep Hak Asasi Manusia dalam UU. Nomor 39 Tahun 1999 (Telaah dalam Perspektif Islam)
Dewasa ini hak asasi manusia tidak lagi dipandang sekadar sebagai perwujudan paham individualisme dan liberalisme seperti dahulu. Hak asasi manusia lebih dipahami secara humanistik sebagai hak-hak yang inheren dengan harkat martabat kemanusiaan, apa pun latar belakang ras, etnik, agama, warna kulit, jenis kelamin  dan pekerjaannya. Konsep tentang hak asasi manusia dalam konteks modern dilatarbelakangi oleh pembacaan yang lebih manusiawi tersebut, sehingga konsep HAM diartikan sebagai berikut: “Human rights could generally be defined as those rights which are inherent in our nature and without which we cannot live as human beings”. Dengan pemahaman seperti itu, konsep hak asasi manusia disifatkan sebagai suatu common standard of achivement for all people and all nations, yaitu sebagai tolok ukur bersama tentang prestasi kemanusiaan yang perlu dicapai oleh seluruh masyarakat dan negara di dunia. Pada tataran internasional, wacana hak asasi manusia telah mengalami perkembangan yang sangat signifikan. Sejak diproklamirkannya The Universal Declaration of Human Right tahun 1948, telah tercatat dua tonggak historis lainnya dalam petualangan penegakan hak asasi manusia internasional.  Pertama, diterimanya dua kovenan (covenant) PBB, yaitu yang  mengenai Hak Sipil dan Hak Politik serta Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya. Dua kovenan itu sudah dipemaklumkan sejak tahun 1966, namun baru berlaku sepuluh tahun kemudian setelah diratifikasi tiga puluh lima negara anggota PBB. Kedua, diterimanya Deklarasi Wina beserta Program Aksinya oleh para wakil dari 171 negara pada tanggal 25 Juni 1993 dalam Konferensi Dunia Hak Asasi Manusia PBB di Wina, Austria. Deklarasi yang kedua ini merupakan kompromi antar visi negara-negara di Barat dengan pandangan negara-negara berkembang dalam penegakan hak asasi manusia.
Di Indonesia, diskursus tentang penegakan hak asasi manusia juga tidak kalah gencarnya. Keseriusan pemerintah di bidang HAM paling tidak bermula pada tahun 1997, yaitu semenjak Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (KOMNAS HAM) didirikan setelah diselenggarakannya Lokakarya Nasional Hak Asasi Manusia pada tahun 1991. Sejak itulah tema tentang penegakan HAM di Indonesia menjadi pemebicran yang serius dan berkesinambungan. Kesinambungan itu berwujud pada usaha untuk mendudukkan persoalan HAM dalam kerangka budaya dan sistem politik nasioanal sampai pada tingkat implementasi untuk membentuk jaringan kerjsama guna menegakkan penghormatan dan perlindungan HAM tersebut di Indonesia. Meski tidak bisa dipungkiri adanya pengaruh internasional yang menjadikan hak asasi manusia sebagai salah satu isu global, namun penegakan hak asasi manusia di Indonesia lebih merupakan hasil dinamika intrenal yang merespon gejala internasional secara positif. Adalah pada tahun 1999, IndonesiAa memiliki sistem hukum yang rigid dan jelas dalam mengatur dan menyelesaikan persoalan pelangaran HAM di Indonesia.
Diberlakukannya UU No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia kendati agak terlambat merupakan langkah progresif dinamis yang patut dihargai dalam merespon isu internasional di bidang hak asasi manusia walaupun masih perlu dilihat dan diteliti lebih jauh isinya.
1.         Konsep HAM dalam UU. No. 39 tahun 1999
Hak Asasi Manusia  adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Kuasa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah dan setiap orang, demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia (Pasal 1 angka 1 UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM dan UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM).
Pelanggaran Hak Asasi Manusia  adalah setiap perbuatan seseoarang atau kelompok orang termasuk aparat negara baik disengaja maupun tidak disengaja atau kelalaian yang secara melawan hukum mengurangi, menghalangi, membatasi dan atau mencabut Hak Asasi Manusia seseorang atau kelompok orang yang dijamin oleh Undang-undang, dan tidak mendapatkan atau dikhawatirkan tidak akan memperoleh penyelesaian hukum yang adil dan benar berdasarkan mekanisme hukum yang berlaku (Pasal 1 angka 6 UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM). Dalam Undang-undang ini pengaturan mengenai Hak Asasi Manusia ditentukan dengan berpedoman pada Deklarasi Hak Asasi Manusia PBB, konvensi PBB tentang penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap wanita, konvensi PBB tentang hak-hak anak dan berbagai instrumen internasional lain yang mengatur tentang Hak Asasi Manusia. Materi Undang-undang ini disesuaikan juga dengan kebutuhan masyarakat dan pembangunan hukum nasional yang berdasarkan Pancasila, UUD 45 dan TAP MPR RI Nomor XVII/MPR/1998. Hak-hak yang tercantum dalam Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia terdiri dari:
  • Hak untuk hidup. Setiap orang berhak untuk hidup, mempertahankan hidup, meningkatkan taraf kehidupannya, hidup tenteram, aman, damai, bahagia, sejahtera lahir dan batin serta memperoleh lingkungan hidup yang baik dan sehat.
  • Hak berkeluarga dan melanjutkan keturunan. Setiap orang berhak untuk membentuk kelaurga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang syah atas kehendak yang bebas.
  • Hak mengembangkan diri. Setiap orang berhak untuk memperjuangkan hak pengembangan dirinya, baik secara pribadi maupun kolektif, untuk membangun masyarakat, bangsa dan negaranya.
  • Hak atas kebebasan pribadi. Setiap orang bebas untuk memilih dan mempunyai keyakinan politik, mengeluarkan pendapat di muka umum, memeluk agama masing-masing, tidak boleh diperbudak, memilih kewarganegaraan tanpa diskriminasi, bebas bergerak, berpindah dan bertempat tinggal di wilayah Republik Indonesia. 
  • Hak memperoleh keadilan. Setiap orang, tanpa diskriminasi, berhak untuk memperoleh keadilan dengan mengajukan permohonan, pengaduan, dan gugatan, baik dalam perkara pidana, perdata, maupun administrasi serta diadili melalui proses peradilan yang bebas dan tidak memihak, sesuai dengan hukum acara yang menjamin pemeriksaan secara obyektif  oleh Hakim yang jujur dan adil untuk memperoleh putusan adil dan benar.
  • Hak atas rasa aman. Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, hak milik, rasa aman dan tenteram serta perlindungan terhadap ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu.
  • Hak atas kesejahteraan. Setiap orang berhak mempunyai milik, baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain demi pengembangan dirinya, bangsa dan masyarakat dengan cara tidak melanggar hukum serta mendapatkan jaminan sosial yang dibutuhkan, berhak atas pekerjaan, kehidupan yang layak dan berhak mendirikan serikat pekerja demi melindungi dan memperjuangkan kehidupannya.
  •  Hak turut serta dalam pemerintahan. Setiap warga negara berhak turut serta dalam pemerintahan dengan langsung atau perantaraan wakil yang dipilih secara bebas dan dapat diangkat kembali dalam setiap jabatan pemerintahan.
  • Hak wanita. Seorang wanita berhak untuk memilih, dipilih, diangkat dalam jabatan, profesi dan pendidikan sesuai dengan persyaratan dan peraturan perundang-undangan. Di samping itu berhak mendapatkan perlindungan khusus dalam pelaksanaan pekerjaan atau profesinya terhadap hal-hal yang dapat mengancam keselamatan dan atau kesehatannya.

  • Hak anak. Setiap anak berhak atas perlindungan oleh orang tua, keluarga, masyarakat dan negara serta memperoleh pendidikan, pengajaran dalam rangka pengembangan diri dan tidak dirampas kebebasannya secara melawan hukum.

2.         Hak Asasi Manusia dalam Perspektif Islam
Masalah hak asasi manusia menurut para sarjana yang melakukan penelitian pemikiran Barat tentang negara dan hukum, berpendapat bahwa secara berurut tonggak-tonggak pemikiran dan pengaturan hak assasi manusia mulai dari Magna Charta (Piagam Agung 1215), yaitu dokumen yang mencatat beberapa hak yang diberikan raja John dari Inggris kepada bangsawan bawahannya atas tuntutan mereka. Naskah ini sekaligus membatasi kekuasaan raja tersebut. Kedua adalah Bill of Right (Undang-Undang Hak 1689) suatu undang-undang yang diterima oleh parlemen Inggris, setelah dalam tahun 1688 melakukan revolusi tak berdarah (the glorius revolution) dan berhasil melakukan perlawanan terhadap raja James II. Menyusul kemudian The American eclaration of Indepencence of 1776, dibarengi dengan Virginia Declaration of Right of 1776. seterusnya Declaration des droits de I’homme et du citoyen (pernyataan hak-hak manusai dan warga negara, 1789) naskah yang dicetuskan pada awal revolusi Perancis sebagai perlawanan terhadap kesewenang-wenangan raja dengan kekuasaan absolut. Selanjutnya Bill of Right (UU Hak), disusun oleh rakyat Amerika Serikat pada tahun 1789, bersamaan waktunya dengan revolusi Perancis, kemudian naskah tersebut dimasukkan atau ditambahkan sebagai bagian dari Undang-Undang Dasar Amerika Serikat pada tahun 1791.
Beberapa pemikiran tentang hak asasi manusia pada abad ke 17 dan 18 di atas hanya terbatas pada hak-hak yang bersifat politis saja, misalnya persamaan hak, kebebasan, hak memilih dan sebagainya. Sedangkan pada abad ke 20, ruang lingkup hak asasi manusia diperlebar ke wilayah ekonomi, sosial, dan budaya. Berdasar naskah-naskah di atas, Franklin Delano Roosevelt (Presiden Amerika ke-32) meringkaskan paling tidak terdapat Empat Kebebasan (The Four Freedoms) yang harus diakui, yakni (1) freedom of speech (kebebasan untuk berbicara dan mengeluarkan pendapat, (2) freedom of religion (kebebasan beragama), (3) freedom from want (kebebasan dari kemiskinan), dan (4) freedom from fear (kebebasan dari rasa takut). Jika dilihat lebih seksama, semua yang termasuk isi utama dari naskah-naskah politik di atas, yang berkaitan dengan hak asasi manusia, terdapat dalam al-Qur’an, sedangkan Empat Kebebsan terdapat dalam Konstitusi Madinah, baik tersirat maupun tersurat. Kendati demikian, Konstitusi Madinah yang sudah tersurat pada tahun 622 (abad ke-7 M) dan al-Qur’an sudah selesai dikumpulkan dan ditulis sebagai kitab pada tahun 25 H (tahun 647 M) tetapi ternyata dalam studi tentang hak-hak asasi manusia oleh kebanyakan para sarjana tidak disinggung sama sekali. Padahal kalau dibandingkan dengan naskah-naskah di atas, semuanya tertinggal tujuh sampai tiga belas abad di belakang Konstitusi Madinah dan al-Qur’an.
Secara historis, berbicara tentang konsep HAM menurut Islam dapat dilihat dari isi Piagam Madinah. Pada alenia awal yang merupakan “Pembukaan” tertulis sebagai berikut:
بسم الله الرحمن الرحيم. هذا كتاب من محمد النبي صلى الله عليه وسلم بين المؤمنين والمسلمين من قريش و يثرب و من تبعهم فلحق بهم وجاهد معهم
Terdapat sedikitnya lima makna pokok kandungan alenia tersebut, yaitu pertama, penempatan nama Allah SWT pada posisi terata, kedua, perjanjian masyarakat tertulis, ketiga, kemajemukan peserta, keempat, keanggotaan terbuka, dan kelima, persatuan dalam ke-bhineka-an. Hak asasi manusia yang terkandung dalam Piagam Madinah dapat diklasifikasi menjadi tiga, yaitu:
1.  Hak untuk hidup, Pasal 14 mencantumkan larangan pembunuhan terhadap orang mukmin untuk kepentingan orang kafir dan tidak boleh membantu orang kafir untuk membunuh orang mukmin. Bahkan pada pasal 21 memberikan ancaman pidana mati bagi pembunuh kecuali bila pembunuh tersebut dimaafkan oleh keluarga korban.
2.  Kebebasan, Dalam konteks ini kebebasan dapat dibagi menjadi empat kategori, yaitu: Kebebasan mengeluarkan pendapat, Kebebasan beragama, Kebebasan dari kemiskinan dan Kebebasan dari rasa takut
3.    Hak mencari kebahagiaan, Dalam Piagam Madinah, seperti diulas sebelumnya, meletakkan nama Allah SWT pada posisi paling atas, maka makna kebahagiaan itu bukan hanya semata-mata karena kecukupan materi akan tetapi juga harus berbarengan dengan ketenangan batin. 
3.         Relevansi Konsep HAM dalam UU No. 39 tahun 1999 dan Islam
Walaupun tidak sampai pada tingkatan studi kritis dan dengan mencoba melakukan komparasi secara sederhana antara konsep hak asasi manusia yang tertuang dalam UU No. 39 tahun 1999 dengan konsep HAM dalam Islam melalui pendekatan relevansional maka studi ini bermaksud menjawab pertanyaan sejauh mana relevansi antar kedua konsep tersebut. Untuk melakukan kajian ini penulis membagi ke dalam beberapa domain, antara lain Ketuhanan Yang Maha Esa, keadilan dan kesejahteraan bersama. 
·      Ketuhanan Yang Maha Esa
Piagam Madinah dimulai dengan kalimat basmalah. Dalam pasal 22 ditegaskan bahwa orang yang beriman kepada Allah dan hari akhir tidak akan menolong pelaku kejahatan dan juga tidak akan membelanya. Bilamana terjadi peristiwa ataun perselisihan di antara pendukung Piagam Madinah yang dikhawatirkaan akan menimbulkan bahaya dan kerusakan, penyelesaiannya menurut ketentuan Allah, demikian ditetpakan dalam pasal 42. Sedangkan dalam UU. No. 39 tahun 1999 tepatnya pada bagian “Ketentuan Umum” point 1 disebutkan bahwa hak asasi manusia merupakan sebuah hak yang melekat pada manusia dalam eksistensinya sebagai ciptaan Tuhan dan merupakan anugerah-Nya. Artinya persoalan penghormatan dan perlindungan HAM tidak saja menempatkan manusia pada posisi sentral (antropo Sentris) akan tetapi terdapat dimensi transendental yang juga harus diperhatikan. Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa konsep penegakan Ketuhanan Yang Maha Esa, yang dalam terminologi Islam disebut tauhid tertera baik dalam Piagam Madinah maupun UU tentang HAM.  
·      Keadilan
Keadilan tercantum secara tegas baik di dalam Islam yang tertera dalam al-Qur’an maupun dalam Piagam Madinah maupun di dalam UU No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dan konstitusi mana saja di dunia ini. Bahkan kata keadilan ini bergema pada setiap ada persekutuan sosial, tidak terkecuali dalam suatu keluarga. Keadilan, menurut Daniel Webster, adalah kebutuhan manusia yang paling luhur. Pasal 17, 18, dan 19 UU No. 39 tahun 1999 secara umum menetapkan bahwa bahwa setiap warga negara mempunyai hak untuk memperoleh keadilan. Tentu saja cara mmeperolehnya sesuai dengan ketentuan yang berlaku dan melalui mekanisme yang telah diatur. Semua perkara, kasus, dan sengketa yang terjadi dalam masyarakat harus diselesaikan melalui jalur hukum. Menurut SM. Amin, hukum adalah kumpulan peraturan yang terdiri dari norma-norma dan sanksi-sanksi yang bertujuan mengadakan ketertiban dalam pergaulan manusia sehingga keadilan, keamanan dan ketertiban terpelihara. Sedangkan dalam konsepsi Islam, berbuat adil merupakan aktivitas yang dekat dengan takwa.
·      Kesejahteraan bersama
Dalam pasal 36 UU No. 39 tahun 1999 disebutkan bahwa setiap orang mempunyai hak untuk memiliki demi pengembangan dirinya dengan cara yang tidak melanggar hukum. Lebih jauh lagi dalam pasal 27 (2) UUD 1945 ditetapkan bahwa tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. Hak untuk mendapatkan kesejahteraan dalam Islam merupakan salah satu yang diutamakan. Ajaran zakat, infaq dan sodaqoh merupakan bentuk kepedulian Islam terhdapa terciptanya kesejahteraan bersama dan kebebasan dari kemiskinan. Selain itu, Islam juga sangat mengutamakan kebersamaan dan menganjurkan tolong menolong terutama terhadap kaum miskin dan lemah dan oleh karena itu, Islam mengharamkan riba.
E.     Pelanggaran HAM
 
HAM / Hak Asasi Manusia adalah hak yang melekat pada diri setiap manusia sejak awal dilahirkan yang berlaku seumur hidup dan tidak dapat diganggu gugat siapa pun. Sebagai warga negara yang baik kita mesti menjunjung tinggi nilai hak azasi manusia tanpa membeda-bedakan status, golongan, keturunan, jabatan, dan lain sebagainya. Melanggar HAM seseorang bertentangan dengan hukum yang berlaku di Indonesia. Hak asasi manusia memiliki wadah organisasi yang mengurus permasalahan seputar hak asasi manusia yaitu Komnas HAM.
Pelanggaran HAM adalah setiap perbuatan seseorang atau kelompok orang termasuk aparat negara baik disengaja ataupun tidak disengaja atau kelalaian yang secara hukum mengurangi, menghalangi, membatasi dan atau mencabut HAM seseorang atau kelompok orang yang dijamin oleh Undang-Undang ini, dan tidak didapatkan atau dikhawatirkan tidak akan memperoleh penyelesaian hukum yang berlaku (UU No. 26/2000 tentang pengadilan HAM). Sedangkan bentuk pelanggaran HAM ringan selain dari kedua bentuk pelanggaran HAM berat itu.
Kejahatan genosida adalah setiap perbuatan yang dilakukan dengan maksud untuk menghancurkan atau memusnahkan seluruh atau sebagian kelompok bangsa, ras, kelompok etnis dan kelompok agama. Kejahatan genosida dilakukan dengan cara membunuh anggota kelompok, mengakibatkan penderitaan fisik atau mental yang berat terhadap anggota-anggota kelompok, menciptakan kondisi kehidupan kelompok yang akan mengakibatkan kemusnahan secara fisik baik seluruh atau sebagiannya, memaksakan tindakan-tindakan yang bertujuan mencegah kelahiran di dalam kelompok, dan memindahkan secara paksa anak-anak dari kelompok tertentu ke kelompok lain (UU No. 26/2000 tentang pengadilan HAM). Sementara itu kejahatan kemanusiaan adalah salah satu perbuatan yang dilakukan sebagai bagian dari serangan yang meluas atau sistematik yang diketahuinya bahwa serangan tersebut tujukan secara langsung terhadap penduduk sipil berupa pembunuhan, pemusnahan, perbudakan, pengusiran atau pemindahan penduduk secara paksa, perampasan kemerdekaan atau perampasan kebebasan fisik lain secara sewenang-wenang yang melanggar (asas-asas) ketentuan pokok hukum internasional, penyiksaan, perkosaan, perbudakan seksual, pelacuran secara paksa atau bentuk-bentuk kekerasan seksual lain yang setara, penganiayaan terhadap suatu kelompok tertentu atau perkumpulan yang didasari persamaan paham politik, ras, kebangsaan, etnis, budaya, agama, jenis kelamin atau alasan lain yang telah diakui secara universal sebagai hal yang dilarang menurut hukum internasional, penghilangan orang secara paksa, dan kejahatan apartheid.
Pelanggaran terhadap HAM dapat dilakukan oleh baik aparatur negara maupun bukan aparatur negara (UU No. 26/2000 tentang pengadilan HAM). Karena itu penindakan terhadap pelanggaran HAM tidak boleh hanya ditujukan terhadap aparatur negara, tetapi juga pelanggaran yang dilakukan bukan oleh aparatur negara. Penindakan terhadap pelanggaran HAM mulai dari penyelidikan, penuntutan, dan persidangan terhadap pelanggaran yang terjadi harus bersifat non-diskriminatif dan berkeadilan. Pengadilan HAM merupakan pengadilan khusus yang berada di lingkungan pengadilan umum. Oleh karena itu, nilai Hak Asasi Manusia kemudian diterjemahkan dalam sejumlah hukum internasional yang kemudian diratifikasi oleh Indonesia. Dalam instrumen hukum HAM yang berlaku di Indonesia melalui UU No. 39/1999, dalam pasal 8, 71, dan 72; negara mempunyai kewajiban untuk menghormati, melindungi dan memenuhi HAM melalui implementasi dalam berbagai bentuk kebijakan. Dalam hal ini, pelanggaran terjadi dalam kondisi negara telah gagal untuk memenuhi salah satu diantara tiga kewajibannya.
  1. kewajiban untuk menghormati: semua kebijakan yang dikeluarkan harus di hormati oleh negara termasuk institusi dan aparatur negara. Hal ini dimaksudkan agar mereka tidak melakukan tindakan yang dapat melanggar keutuhan dari individu atau kelompok; atau melanggar kemerdekaan seseorang.
  2. Kewajiban untuk melindungi: kewajiban dimana negara beserta aparatur negara wajib melakukan tindakan seperlunya untuk melindungi dan mencegah seorang individu atau kelompok untuk melanggar hak individu atau kelompok lainnya. Termasuk perlindungan atau pelanggaran terhadap kebebasan seseorang.
  3. Kewajiban untuk memenuhi: negara mempunyai kewajiban untuk melakukan tindakan-tindakan yang menjamin setiap orang untuk memiliki hak hukum dalam memenuhi kebutuhan yang termasuk dalam instrumen HAM, dimana hak itu tidak dapat dipenuhi secara pribadi.
·         Penanggungjawab dalam penegakan (respection), pemajuan (promotion), perlindungan (protection) dan pemenuhan (fulfill) HAM.
Tanggung jawab pemajuan, penghormatan dan perlindungan HAM tidak saja dibebankan kepada negara, melainkan juga kepada individu warga negara. Artinya negara dan individu sama-sama memiliki tanggung jawab terhadap pemajuan, penghormatan dan perlindungan HAM. Karena itu, pelanggaran HAM sebenarnya tidak saja dilakukan oleh negara kepada rakyatnya, melainkan juga oleh rakyat kepada rakyat yang disebut dengan pelanggaran HAM secara horizontal.
Pelanggaran terhadap hak asasi manusia ternyata banyak macam dan bentuknya. Mulai dari pemaksaan beribadat, perpindahan agama, aborsi, sampai yang baru-baru ini menjadi perdebatan. Salah satunya yaitu MEROKOK. Sejak tahun 2006 sudah beredar sebuah peraturan daerah yang MELARANG warganya untuk MEROKOK di tempat umum, dan bagi mereka yang MELANGGAR akan di kenakan sanksi kurungan selama 6 bulan. Namun selama ini perda tersebut dinilai TIDAK EFEKTIF. Karena ketidak efekifan tersebut Pemprov DKI Jakarta merevisi ulang perda tersebut, dengan mengurangi lama hukuman. Dari 6 bulan menjadi 3 bulan saja, dengan alasan agar dapat ditindak oleh Pegawai Negeri Sipil (detikcom).
Perda No.2/2005 tentang larangan merokok ditempat umum berlaku secara efektif mulai 6 April 2006. Dalam peraturan tersebut dicantumkan tempat-tempat yang menjadi daerah bebas rokok, diantaranya adalah pusat perbelanjaan, sarana kesehatan, tempat kerja (kantor), tempat yang secara spesifik sebagai tempat proses belajar mengajar, arena kegiatan anak, tempat ibadah dan angkutan umum. Selain itu akan terdapat ruangan khusus untuk merokok di setiap tempat-tempat yang tercantum dalam peraturan tersebut. Namun dalam pelaksanaannya semua tempat itu masih belum menjadi daerah yang bebas rokok. Memang sudah ada beberapa pusat perbelanjaan yang menyediakan ruangan khusus untuk merokok, tapi tetap banyak saja perokok yang tidak menggunakan tempat tersebut, dikarenakan “ENGGAN”. Saya tidak tahu pasti kata “enggan” yang dimaksud adalah enggan yang sebenarnya karena masih belum terbiasa atau memang karena MALAS DAN TIDAK MAU REPOT.
Para perokok tersebut tidak hanya “enggan” untuk menggunakan tempat khusus yang disediakan untuk merokok, tapi juga TIDAK PERDULI dengan peraturan tersebut. Jelas-jelas di lingkungan rumah sakit tidak boleh merokok dan sudah ada tanda peringatan, namun tetap saja mereka merokok, dan yang lebih PARAH lagi mereka merokok di dekat tanda larangan tersebut. Entah mereka BUTA atau MEMANG TIDAK PERDULI dengan tanda peraturan tersebut. Lalu apa hubungannya dengan pelanggaran hak asasi manusia? Apa yang menyebabkan merokok dapat melanggar hak asasi manusia?
Hubungannya terletak pada pencemaran udara yang sehari-hari kita hirup. Seseorang mempunyai hak untuk hidup, itu hukumnya. Untuk hidup manusia sangat butuh udara yang bersih dan segar setiap detiknya. Jika udara yang kita hirup itu tercemar oleh asap rokok, maka yang akan kita hirup adalah racun-racun yang keluar dari sistem pernafasan sang perokok serta racun dari rokok itu sendiri. Bukan hanya racun yang mengganggu, tapi juga bau tak sedap dari asap rokok tersebut. Pelanggaran hak asasi manusia besar-besaran menurut saya, karena kita tidak lagi bisa menghirup udara yang bersih. Ketika ada seseorang atau dua orang yang merokok dan berdiri atau duduk di dekat Anda ketika menunggu, katakanlah, kereta api ekonomi tujuan Bogor, pasti Anda akan merasa risih (kecuali jika Anda seorang perokok juga). Rasanya tidak enak saja ketika Anda menarik nafas, yang Anda cium adalah bau asap rokok. Apalagi ketika Anda telah naik di keretanya, ada orang yang merokok di dekat pintu gerbong kereta. Angin yang bertiup masuk ke dalam gerbong kereta api tentu akan membawa serta asap rokok yang dihembuskan oleh perokok tadi, sehingga dapat di pastikan penumpang lainlah yang kena imbas asap rokoknya.
Merokok merupakan hak asasi manusia, karena setiap manusia berhak memilih apa yang mereka inginkan bagi diri mereka, namun di sisi lain menghirup udara segar juga menjadi hak manusia. Jadi apa salahnya, jika Anda seorang perokok hendaknya tidak merokok di tempat-tempat umum seperti kendaraan umum, kantin, stasiun, dan tempat-tempat yang telah di cantumkan dalam perda No.2/2005 tersebut. Meskipun di tempat Anda biasa merokok belum disediakan tempat khusus untuk merokok, lebih baik jika Anda merokok di tempat yang tidak ada orang atau jika Anda masih “NGEBET” untuk merokok lebih baik meminta izin kepada orang yang ada di dekat Anda. Mungkin Anda akan menerima tatapan aneh dari orang-orang tersebut dan sesuai dengan kebudayaan orang Indonesia pada umumnya, mereka akan cenderung memberi izin karena takut untuk berkata TIDAK!! Jadi, mulailah untuk BERFIKIR dulu sebelum Anda merokok. Apakah pada saat itu Anda akan melakukan pelanggaran hak asasi manusia? kemudian yang penting untuk diingat adalah BACA TANDA PERINGATAN LARANGAN MEROKOK yang ada. Karena meskipun hanya lulusan SD, saya yakin Anda semua bisa melihat tanda yang ada. Apalagi jika Anda berpendidikan tinggi, pasti Anda bisa MEMBACA tanda tersebut dengan jelas.
·         Contoh-Contoh Kasus Pelanggaran HAM Lainnya
1.    Terjadinya penganiayaan pada praja STPDN oleh seniornya dengan dalih pembinaan yang menyebabkan meninggalnya Klip Muntu pada tahun 2003.
2.    Dosen yang malas masuk kelas atau malas memberikan penjelasan pada suatu mata kuliah kepada mahasiswa merupakan pelanggaran HAM ringan kepada setiap mahasiswa.
3.    Para pedagang yang berjualan di trotoar merupakan pelanggaran HAM terhadap para pejalan kaki, sehingga menyebabkan para pejalan kaki berjalan di pinggir jalan sehingga sangat rentan terjadi kecelakaan.
4.    Para pedagang tradisioanal yang berdagang di pinggir jalan merupakan pelanggaran HAM ringan terhadap pengguna jalan sehingga para pengguna jalan tidak bisa menikmati arus kendaraan yang tertib dan lancar.
5.    Orang tua yang memaksakan kehendaknya agar anaknya masuk pada suatu jurusan tertentu dalam kuliahnya merupakan pelanggaran HAM terhadap anak, sehingga seorang anak tidak bisa memilih jurusan yang sesuai dengan minat dan bakatnya.
Selain pelenggaran HAM yang berupa kekerasan terhadap perempuan ada juga pelanggaran HAM yang berkaitan dengan persoalan-persoalan politik di Indonesia dan beberapa sebab yang lain yang sebenarnya sudah sangat melampui batas. Berikut ini akan ditampilkan beberapa contoh pelanggaran HAM di Indonesia selama Orde Baru sepanjang tahun 1990-1998, seperti yang dikutip dari, adalah sebagai berikut :
  • 1991:Pembantaian dipemakaman santa Cruz, Dili terjadi oleh ABRI terhadap pemuda. Pemuda Timor yang mengikuti prosesi pemakaman rekannya 200 orang meninggal.
  • 1992:Keluar Kepres tentang Monopoli perdagangan oleh perusahaan Tommy Suharto dan Penangkapan Xanana Gusmao.
  • 1993:Pembunuhan terhadap seorang aktifis buruh perempuan, Marsinah. Tanggal 8 Mei 1993.
  • 1996:Kerusuhan anti Kristen di Tasikmalaya. Peristiwa ini dikenal dengan kerusuhan Tasikmalaya. (26 Desember 1996), Kasus tanah Balongan, Sengketa antara penduduk setempat dengan pabrik kertas Mucura Enim mengenai pencemaran lingkungan, Sengketa tanah Manis Mata, Kasus Waduk Nipoh di Madura, dimana korban jatuh karena ditembak aparat. Ketika mereka memprotes penggusuran tanah mereka, Kerusuhan Situbondo, puluhan Gereja di bakar, dan Kerusuhan Sambas Sangvaledo. (30 Desember 1996)
  • 1997:Kasus tanah Kemayoran dan Kasus pembantaian mereka yang di duga pelaku dukun santet di Ja-Tim.
  • 1998:Kerusuhan Mei di beberapa kota meletus. Aparat keamanan bersikap pasif dan membiarkan. Ribuan jiwa meninggal, puluhan perempuan di perkosa dan harta benda hilang (Tanggal 13-15 Mei 1998), Pembunuhan terhadap beberapa mahasiswa Trisakti di Jakarta, dua hari sebelum kerusuhan Mei, Pembunuhan terhadap beberapa mahasiswa dalam demontrasi menentang Sidang Istimewa 1998. Peristiwa ini terjadi pada 13-14 November 1998 dan dikenal dengan Tragedi Semanggi, dan lain-lain.
F.       Perkembangan Hak Asasi Manusia
Wacana hak asasi manusia bukanlah wacana yang asing dalam diskursus politik dan ketatanegaraan di Indonesia. Kita bisa menemuinya dengan gamblang dalam perjalanan sejarah pembentukkan bangsa ini, di mana perbincangan mengenai hak asasi manusia menjadi bagian daripadanya. Jauh sebelum kemerdekaan, para perintis bangsa ini telah memercikkan pikiran-pikiran untuk memperjuangkan harkat dan martabat manusia yang lebih baik. Pecikan pikiran tersebut dapat dibaca dalam surat-surat R.A. Kartini yang berjudul “Habis Gelap Terbitlah Terang”, karangan-karangan politik yang ditulis oleh H.O.S. Cokroaminoto, Agus Salim, Douwes Dekker, Soewardi Soeryaningrat, petisi yang dibuat oleh Sutardjo di Volksraad atau pledoi Soekarno yang berjudul ”Indonesia Menggugat” dan Hatta dengan judul ”Indonesia Merdeka” yang dibacakan di depan pengadilan Hindia Belanda. Percikan-percikan pemikiran pada masa pergerakan kemerdekaan itu, yang terkristalisasi dengan kemerdekaan Indonesia, menjadi sumber inspirasi ketika konstitusi mulai diperdebatkan di Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI). Di sinilah terlihat bahwa para pendiri bangsa ini sudah menyadari pentingnya hak asasi manusia sebagai fondasi bagi negara. Sub-bab ini berusaha menelusuri perkembangan wacana hak asasi manusia dalam diskursus politik dan ketatanegaraan di Indonesia, paling tidak dalam kurun waktu setelah kemerdekaan. Diskursus mengenai hak asasi manusia ditandai dengan perdebatan yang sangat intensif dalam tiga periode sejarah ketatanegaraan, yaitu mulai dari tahun 1945, sebagai periode awal perdebatan hak asasi manusia, diikuti dengan periode Konstituante (tahun 1957-1959) dan periode awal bangkitnya Orde Baru (tahun 1966-1968).354 Dalam ketiga periode inilah perjuangan untuk menjadikan hak asasi manusia sebagai sentral dari kehidupan berbangsa dan bernegara berlangsung dengan sangat serius. Tetapi sayang sekali, pada periode-periode emas tersebut wacana hak asasi manusia gagal dituangkan ke dalam hukum dasar negara atau konstitusi. Perjuangan itu memerlukan waktu lama untuk berhasil, yaitu sampai datangnya periode reformasi (tahun 1998-2000). Periode ini diawali dengan pelengseran Soeharto dari kursi Presiden Indonesia oleh gerakan reformasi. Inilah periode yang sangat “friendly” terhadap hak asasi manusia, ditandai dengan diterimanya hak asasi manusia ke dalam konstitusi dan lahirnya peraturan perundang-undangan di bidang hak asasi manusia.
1.  Perdebatan Awal tentang Hak Asasi Manusia
Sesuai dengan pembabakan di atas, pemaparan berikut akan dimulai dengan pembahasan periode pertama. Pada waktu menyusun konstitusi, Undang-Undang Dasar 1945, terjadi perdebatan mengenai apakah hak warga negara perlu dicantumkan dalam pasal-pasal Undang-Undang Dasar? Soekarno dan Supomo mengajukan pendapat bahwa hak-hak warga negara tidak perlu dicantumkan dalam pasal-pasal konstitusi. Sebaliknya, Mohammad Hatta dan Muhammad Yamin tegas berpendapat perlunya mencantumkan pasal mengenai kemerdekaan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pikiran dengan lisan maupun tulisan di dalam Undang-Undang Dasar. Perdebatan dalam sidang-sidang BPUPKI tersebut merupakan tonggak penting dalam diskursus hak asasi manusia di Indonesia, yang memberi pijakan bagi perkembangan wacana hak asasi manusia periode-periode selanjutnya. Karena itu, menarik apabila kita menyimak sedikit perdebatan tersebut. Mengapa Soekarno dan Supomo menolak pencantuman pasal-pasal hak warga negara dalam Konstitusi Indonesia? Penolakan Soekarno dan Supomo tersebut didasarkan pada pandangan mereka mengenai dasar negara yang dalam istilah Soekarno disebut dengan “Philosofische grondslag” atau dalam istilah Supomo disebut “Staatsidee” yang tidak berlandaskan pada faham liberalisme dan kapitalisme. Menurut pandangan Soekarno, jaminan perlindungan hak warga negara itu --yang berasal dari revolusi Prancis, merupakan basis dari faham liberalisme dan individualisme yang telah menyebabkan lahirnya imperialisme dan peperangan antara manusia dengan manusia. Sedangkan Supomo menolak dicantumkannya hak warga negara dalam pasal-pasal Undang-Undang Dasar dengan alasan yang berbeda. Penolakan Supomo didasarkan pada pandangannya mengenai ide negara integralistik (staatsidee integralistik), yang menurutnya cocok dengan sifat dan corak masyarakat Indonesia.
Menurut faham tersebut negara harus bersatu dengan seluruh rakyatnya, yang mengatasi seluruh golongan-golongannya dalam lapangan apapun. Dalam negara yang demikian itu, tidak ada pertentangan antara susunan hukum staat dan susunan hukum individu, karena individu tidak lain ialah suatu bagian organik dari Staat. Makanya hak individu menjadi tidak relevan dalam paham negara integralistik, yang justru relevan adalah kewajiban asasi kepada negara. Paham inilah yang mendasari argumen Supomo. Sebaliknya, mengapa Hatta dan Yamin bersikeras menuntut dicantumkannya hak warga negara dalam pasal-pasal Konstitusi? Hatta setuju dengan penolakan terhadap liberalisme dan individualisme, tetapi ia kuatir dengan keinginan untuk memberikan kekuasaan yang seluas-luasnya kepada negara, bisa menyebabkan negara yang ingin didirikan itu terjebak dalam otoritarianisme. Begitu juga dengan Yamin. Sarjana hukum lulusan Belanda itu menolak dengan keras argumen-argumen yang membela tidak dicantumkannya hak warga negara dalam Undang-Undang Dasar. “Supaya aturan kemerdekaan warga negara dimasukkan dalam Undang-Undang Dasar seluas-luasnya. Saya menolak segala alasan-alasan yang dimajukan untuk tidak memasukkannya. Aturan dasar tidaklah berhubungan dengan liberalisme, melainkan semata-mata satu kesemestian perlindungan kemerdekaan, yang harus diakui dalam Undang-undang Dasar,” Yamin mengucapkan pidatonya pada sidang BPUPKI. Pendapat kedua pendiri bangsa ini didukung oleh anggota BPUPKI lainnya, Liem Koen Hian, yang mengusulkan perlunya dimasukkan hak kemerdekaan buat drukpers, onschendbaarheid van woorden (pers cetak, kebebasan mengeluarkan pikiran dengan lisan). Mereka sangat menyadari bahaya otoritarianisme, sebagaimana yang mereka lihat terjadi di Jerman menjelang Perang Dunia II, apabila dalam negara yang mau didirikan itu tidak diberikan jaminan terhadap hak warga negara. Percikan perdebatan yang dipaparkan di atas berakhir dengan suatu kompromi.
Hak warga negara yang diajukan oleh Hatta, Yamin dan Liem Koen Hian diterima untuk dicantumkan dalam Undang-Undang Dasar, tetapi dengan terbatas. Keterbatasan itu bukan hanya dalam arti bahwa hak-hak tersebut lebih lanjut akan diatur oleh undang-undang, tetapi juga dalam arti konseptual. Konsep yang digunakan adalah “Hak Warga Negara” (“rights of the citizens”) bukan “Hak Asasi Manusia” (human rights). Penggunaan konsep “Hak Warga Negara” itu berarti bahwa secara implisit tidak diakui paham natural rights yang menyatakan bahwa hak asasi manusia adalah hak yang dimiliki oleh manusia karena ia lahir sebagai manusia. Sebagai konsekuensi dari konsep itu, maka negara ditempatkan sebagai “regulator of rights”, bukan sebagai “guardian of human rights” sebagaimana ditempatkan oleh sistem Perlindungan Internasional Hak Asasi Manusia.
Perdebatan tersebut tidak berakhir begitu saja. Diskursus mengenai hak asasi manusia muncul kembali sebagai usaha untuk mengoreksi kelemahan dalam Undang-Undang Dasar 1945 pada sidang Konstituante (1957-1959). Sebagaimana terrekam dalam Risalah Konstituente, khususnya dari Komisi Hak Asasi Manusia, perdebatan disini jauh lebih sengit dibanding dengan perdebatan di BPUPKI. “Diskusi ini merupakan pernyataan paling jelas, paling bebas dan paling baik mengenai kesadaran tentang hak asasi manusia di kalangan rakyat Indonesia,” rekam Buyung Nasution yang melakukan studi mendalam tentang periode ini. Berbeda dengan perdebatan awal di BPUPKI, diskusi di Konstituante relatif lebih menerima hak asasi manusia dalam pengertian natural rights, dan menganggapnya sebagai substansi Undang-Undang Dasar. Meskipun ada yang melihat dari perspektif agama atau budaya, perdebatan di Konstituante sebetulnya telah berhasil menyepakati 24 hak asasi manusia yang akan disusun dalam satu bab pada konstitusi. Sayang, Konstituante dibubarkan olehSoekarno, akibatnya kesepakatan-kesepakatan yang telah dicapai dalam Konstituante ikut dikesampingkan, termasuk kesepakatan mengenai hak asasi manusia. Pembubaran Konstituante tersebut diikuti oleh tindakan Soekarno mengeluarkan dekrit yang isinya adalah pernyataan untuk kembali ke Undang-Undang Dasar 1945 yang kemudian dikenal dengan “Dekrit 5 Juli 1959”. Dengan kembali ke Undang-Undang Dasar 1945, maka status konstitusional hak asasi manusia yang telah diakui dalam Konstitusi RIS dan Undang-Undang Dasar “Sementara” 1950 menjadi mundur kembali. Makanya setelah rezim Demokrasi Terpimpin Soekarno digulingkan oleh gerakan mahasiswa 1966, yang melahirkan rezim Orde Baru, perdebatan mengenai perlindungan konstitusionalitas hak asasi manusia muncul kembali. Perdebatan itu muncul pada Sidang Umum MPRS tahun 1968 di awal Orde Baru. MPRS ketika itu telah membentuk Panitia Ad Hoc Penyusunan Hak-Hak Asasi Manusia. Hasilnya adalah sebuah “Rancangan Keputusan MPRS tentang Piagam Hak-Hak Asasi Manusia dan Hak-hak serta Kewajiban Warga Negara”. Tetapi sayang sekali rancangan tersebut tidak berhasil diajukan ke Sidang Umum MPRS untuk disahkan sebagai ketetapan MPRS. Alasannya terutama diajukan oleh fraksi Karya Pembangunan dan ABRI, akan lebih tepat jika Piagam yang penting itu disiapkan oleh MPR hasil pemilu, bukan oleh MPR(S) yang bersifat “sementara”. Kenyataannya, setelah MPR hasil pemilu (1971) terbentuk, Rancangan Piagam Hak Asasi Manusia itu tidak pernah diajukan lagi. Fraksi Karya Pembangunan dan fraksi ABRI tidak pernah mengingat lagi apa yang pernah mereka putuskan pada Sidang Umum MPRS tahun 1968 tersebut.364 Sampai akhirnya datang gelombang besar “Reformasi”, yang melengserkan Soeharto dari kursi Presiden Indonesia (Mei, 1998) dan membuka babak baru wacana hak asasi manusia di Indonesia.
2.  Hak Asasi Manusia dalam Konstitusi Baru
Presiden BJ. Habibie yang ditunjuk Soeharto sebagai penggantinya mengumumkan kabinetnya sebagai “Kabinet Reformasi”. Presiden yang baru ini tidakpunya pilihan lain selain memenuhi tuntutan reformasi, yaitu membuka sistem politik yang selama ini tertutup, menjamin perlindungan hak asasi manusia, menghentikan korupsi, kolusi dan nepotisme, menghapus dwi-fungsi ABRI, mengadakan pemilu, membebaskan narapidana politik, dan sebagainya. Perhatian pokok buku ini adalah yang berkaitan dengan wacana hak asasi manusia pada periode reformasi. Pada periode reformasi ini muncul kembali perdebatan mengenai konstitusionalitas perlindungan hak asasi manusia. Perdebatkan bukan lagi soal-soal konseptual berkenaan dengan teori hak asasi manusia, tetapi pada soal basis hukumnya, apakah ditetapkan melalui TAP MPR atau dimasukkan dalam UUD? Gagasan mengenai Piagam Hak Asasi Manusia yang pernah muncul di awal Orde Baru itu muncul kembali. Begitu pula gagasan untuk mencatumkannya ke dalam pasal-pasal Undang-Undang Dasar juga muncul kembali ke dalam wacana perdebatan hak asasi manusia ketika itu. Karena kuatnya tuntutan dari kelompok-kelompok reformasi ketika itu, maka perdebatan bermuara pada lahirnya Ketetapan MPR No. XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia. Isinya bukan hanya memuat Piagam Hak Asasi Manusia, tetapi juga memuat amanat kepada presiden dan lembaga-lembaga tinggi negara untuk memajukan perlindungan hak asasi manusia, termasuk mengamanatkan untuk meratifikasi instrumen-instrumen internasional hak asasi manusia.
Hasil Pemilu 1999 merubah peta kekuatan politik di MPR/DPR. Kekuatan politik pro-reformasi mulai memasuki gelanggang politik formal, yakni MPR/DPR. Selain berhasil mengangkat K.H. Abdurrachman Wahid sebagai presiden, mereka juga berhasil menggulirkan terus isu amandemen Undang-Undang Dasar 1945. Pada Sidang Tahunan MPR tahun 2000, perjuangan untuk memasukkan perlindungan hak asasi manusia ke dalam Undang-Undang Dasar akhirnya berhasil dicapai. Majelis Permusyawaratan Rakyat sepakat memasukan hak asasi manusia ke dalam Bab XA, yang berisi 10 Pasal Hak Asasi Manusia (dari pasal 28A-28J) pada Amandemen Kedua Undang-Undang Dasar 1945 yang ditetapkan pada 18 Agustus 2000. Hak-hak yang tercakup di dalamnya mulai dari kategori hak-hak sipil politik hingga pada kategori hak-hak ekonomi, sosial dan budaya. Selain itu, dalam bab ini juga dicantumkan pasal tentang tanggung jawab negara terutama pemerintah dalam perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia. Di samping itu ditegaskan bahwa untuk menegakkan dan melindungi hak asasi manusia sesuai prinsip negara hukum yang demokratis maka pelaksanaan hak asasi manusia dijamin, diatur dan dituangkan dalam peraturan perundang-undangan. Salah satu isu yang menjadi riak-perdebatan dalam proses amandemen itu adalah masuknya pasal mengenai hak bebas dari pemberlakuan undang-undang yang berlaku surut (non-retroactivity principle) yakni pasal 28I. Masuknya ketentuan ini dipandang oleh kalangan aktifis hak asasi manusia dan aktifis pro-reformasi yang tergabung dalam Koalisi untuk Konstitusi Baru sebagai “sabotase” terhadap upaya mengungkapkan pelanggaran berat hak asasi manusia di masa lalu, khsususnya di masa Orde Baru. Alasannya pasal itu dapat digunakan oleh para pelaku pelanggaran hak asasi di masa lalu untuk menghindari tuntutan hukum. Undang-Undang Pengadilan Hak Asasi Manusia dan Undang-Undang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi, yang lahir setelah Amandemen Kedua menjadi senjata yang tak dapat digunakan untuk pelanggaran hak asasi manusia di masa lalu. Sementara anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat beralasan bahwa adanya pasal itu sudah lazim dalam instrumen internasional hak asasi manusia, khususnya dalam Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik (KIHSP). Selain itu, menurut anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat, Pasal 28I itu harus dibaca pula dalam kaitannya dengan Pasal 28J ayat (2). Terlepas dari kontroversi yang dipaparkan di atas, Amandemen Kedua tentang Hak Asasi Manusia merupakan prestasi gemilang yang dicapai Majelis Permusyawaratan Rakyat pasca Orde Baru. Amandemen Kedua itu telah mengakhiri perjalanan panjang bangsa ini dalam memperjuangkan perlindungan konstitusionalitas hak asasi manusia di dalam Undang-Undang Dasar. Mulai dari awal penyusunan Undang-Undang Dasar pada tahun 1945, Konstituante (1957-1959), awal Orde Baru (1968) dan berakhir pada masa reformasi saat ini merupakan perjalanan panjang diskursus hak asasi manusia dalam sejarah politik-hukum Indonesia sekaligus menjadi bukti bahwa betapa menyesatkan pandangan yang menyatakan hak asasi manusia tidak dikenal dalam budaya Indonesia.
 
3. Undang-Undang Hak Asasi Manusia
Sebagaimana dikemukakan sebelumnya, periode reformasi merupakan periode yang sangat “friendly” terhadap hak asasi manusia. Berbeda halnya dengan periode Orde Baru yang melancarkan “black-campaign” terhadap isu hak asasi manusia. Presiden B.J. Habibie dan DPR sangat terbuka dengan tuntutan reformasi, maka sebelum proses amandemen konstitusi bergulir, presiden lebih dulu mengajukan Rancangan Undang-Undang Hak Asasi Manusia ke Dewan Perwakilan Rakyat untuk dibahas. Pembahasan di Dewan Perwakilan Rakyat juga tidak memakan waktu yang lama dan pada 23 September 1999 telah dicapailah konsensus untuk mengesahkan undang-undang tersebut yakni Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Undang-Undang tersebut dilahirkan sebagai turunan dari Ketetapan MPR No. XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia.
Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia memuat pengakuan yang luas terhadap hak asasi manusia. Hak-hak yang dijamin di dalamnya mencakup mulai dari pengakuan terhadap hak-hak sipil dan politik, hak-hak ekonomi, sosial dan budaya, hingga pada pengakuan terhadap hak-hak kelompok seperti anak, perempuan dan masyarakat adat (indigenous people). Undang-Undang tersebut dengan gamblang mengakui paham ‘natural rights’, melihat hak asasi manusia sebagai hak kodrati yang melekat pada manusia. Begitu juga dengan kategorisasi hak-hak di dalamnya tampak merujuk pada instrumen-instrumen internasional hak asasi manusia, seperti Universal Declaration of Human Rights, International Covenan on Civil and Political Rights, International Covenan on Economic, Social and Cultural Rights, International Convention on the Rights of Child, dan seterusnya.
Dengan demikian boleh dikatakan Undang-Undang ini telah mengadopsi norma-norma hak yang terdapat di dalam berbagai instrumen hak asasi manusia internasional tersebut. Di samping memuat norma-norma hak, Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia juga memuat aturan mengenai Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (bab VII). Mulai Pasal 75 sampai Pasal 99 mengatur tentang kewenangan dan fungsi, keanggotaan, serta struktur kelembagaan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia. Jadi kalau sebelumnya Komisi Nasional Hak Asasi Manusia berdiri berdasarkan Keputusan Presiden No. 50 Tahun 1993, maka setelah disahkan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 landasan hukumnya diperkuat dengan Undang-Undang. Hal yang menarik dalam Undang-Undang ini adalah adanya aturan tentang partisipasi masyarakat (bab VIII), mulai dari Pasal 100 sampai Pasal 103. Aturan ini jelas memberikan pengakuan legal terhadap keabsahan advokasi hak asasi manusia yang dilakukan oleh organisasi-organisasi pembela hak asasi manusia atau “human rights defenders”. Selain itu, Undang-Undang ini juga mengamanatkan pembentukan Pengadilan Hak Asasi Manusia yang harus dibentuk paling lama dalam jangka waktu empat tahun setelah berlakunya Undang-Undang tersebut (Bab IX). Pertanyaannya kemudian adalah, bagaimana status Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 ini setelah keluarnya Amandemen Kedua tentang Hak Asasi Manusia? Apakah tetap berlaku atau tidak? Kaidah “ketentuan yang baru menghapus ketentuan yang lama” jelas tidak dapat diterapkan di sini. Kaidah tersebut hanya berlaku untuk norma yang setingkat. Karena kedudukan kedua ketentuan tersebut tidak setingkat, dan sejalan dengan “stuffenbau theorie des rechts” (hierarchy of norm theory), norma konstitusi lebih tinggi daripada undang-undang. Maka Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 itu tetap berlaku dan dapat dipandang sebagai ketentuan organik dari ketentuan hak asasi manusia yang terdapat pada amandemen kedua.
G.      Ratifikasi Perjanjian Internasional Hak Asasi Manusia
Pembahasan selanjutnya terkait dengan penerapan instrumen internasional hak asasi manusia ke dalam hukum nasional. Perbincangan mengenai isu ini biasanya diletakkan dalam konteks dua ajaran berikut, yakni ajaran dualis (dualistic school) dan ajaran monis (monistic school). Ajaran yang pertama melihat hukum internasional dan nasional sebagai dua sistem hukum yang terpisah dan berdiri sendiri-sendiri. Sedangkan ajaran yang kedua melihat hukum internasional dan nasional sebagai bagian integral dari sistem yang sama. Meskipun kedua ajaran tersebut dalam prakteknya tumpang tindih, biasanya negara yang dirujuk menganut ajaran monis adalah Inggris dan Amerika Serikat. Tetapi hanya Amerika Serikat yang menyatakan dengan gamblang dalam konstitusinya bahwa “all treaties made or which shall be made, under the Authority of the United States, shall be the supreme Law of the Land; and the judges in everdikatakan lebih dekat dengan ajaran yang pertama. Hal ini terlihat dari ketentuan Pasal 11 ayat (2) Undang Undang Dasar 1945. Sebagai bagian dari masyarakat internasional, Indonesia juga tidak bisa menafikan hukum internasional, tetapi penerapannya harus sesuai dengan  ketentuan hukum Indonesia. Seperti dikatakan di atas, Pasal 11 ayat (2) Undang-Undang Dasar mensyaratkan dalam proses pemberlakuan hukum internasional ke dalam hukum nasional terlebih dahulu mengambil langkah transformasi melalui proses perundang-undangan domestik. Proses ini dikenal dengan ratifikasi atau aksesi. Jadi meskipun Indonesia telah memiliki basis hukum perlindungan hak asasi manusia yang kuat di dalam negeri seperti dipaparkan di muka, tetap dipandang perlu untuk mengikatkan diri dengan sistem perlindungan internasional hak asasi manusia. Sebab dengan pengikatan itu, selain menjadikan hukum internasional sebagai bagian dari hukum nasional (supreme law of the land), juga memberikan landasan legal kepada warga negaranya untuk menggunakan mekanisme perlindungan hak asasi manusia internasional, apabila ia (warga negara) merasa mekanisme domestik telah mengalami “exshausted” alias menthok. Sampai saat ini Indonesia baru meratifikasi 8 (delapan) instrumen internasional hak asasi manusia dari 25 (dua puluh lima) instrumen internasional pokok hak asasi manusia. Delapan instrumen internasional hak asasi manusia yang diratifikasi itu meliputi:
1.      Konvensi Internasional tentang Hak-Hak Politik Perempuan;
2.      Konvensi Internasional tentang Hak Anak;
3.    Konvensi Internasional tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan;
4.      Konvensi Internasional tentang Anti Apartheid di Bidang Olah Raga;
5.      Konvensi Internasional tentang (Anti?) Menentang Penyiksaan;
6.      Konvensi Internasional tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial;
7.      Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik; dan
8.    Kovenan Internasional tentang Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya.
Dikatakan lebih dekat dengan ajaran yang pertama. Hal ini terlihat dari ketentuan Pasal 11 ayat (2) Undang Undang Dasar 1945. Sebagai bagian dari masyarakat internasional, Indonesia juga tidak bisa menafikan hukum internasional, tetapi penerapannya harus sesuai dengan ketentuan hukum Indonesia. Seperti dikatakan di atas, Pasal 11 ayat (2) Undang-Undang Dasar mensyaratkan dalam proses pemberlakuan hukum internasional ke dalam hukum nasional terlebih dahulu mengambil langkah transformasi melalui proses perundangundangan domestik. Proses ini dikenal dengan ratifikasi atau aksesi. Jadi meskipun Indonesia telah memiliki basis hukum perlindungan hak asasi manusia yang kuat di dalam negeri seperti dipaparkan di muka, tetap dipandang perlu untuk mengikatkan diri dengan sistem perlindungan internasional hak asasi manusia. Sebab dengan pengikatan itu, selain menjadikan hukum internasional sebagai bagian dari hukum nasional (supreme law of the land), juga memberikan landasan legal kepada warga negaranya untuk menggunakan mekanisme perlindungan hak asasi manusia internasional, apabila ia (warga negara) merasa mekanisme domestik telah mengalami “exshausted” alias menthok. Dibanding dengan jumlah instrumen internasional pokok hak asasi manusia, maka sebetulnya tingkat ratifikasi Indonesia masih rendah. Sebagai perbandingan, Filipina, misalnya, telah meratifikasi 18 (delapan belas) konvensi internasional hak asasi manusia. Sejak tahun 1998, Indonesia telah memiliki Rencana Aksi Nasional Hak Asasi Manusia (RANHAM) untuk mengejar ketertinggalan di bidang ratifikasi tersebut. Dengan adanya RANHAM, diharapkan proses ratifikasi dapat berjalan dengan terencana. Melalui RANHAM ini, yang periode lima tahun pertamanya dimulai pada 1998-2003, telah disusun skala prioritas untuk melakukan ratifikasi terhadap instrumen-instrumen hak asasi manusia internasional. Sedangkan pada RANHAM lima tahun kedua (2004-2009), rencana ratifikasi diprioritaskan pada konvensi-konvensi berikut ini:

1.  Konvensi untuk Penindasan Perdagangan Orang dan Eksploitasi Prostitusi Orang Lain (pada 2004);
2.  Konvensi tentang Perlindungan Hak Pekerja Migran dan Keluarganya (pada 2005);
3. Protokol Opsional tentang Hak Anak tentang Perdagangan Anak, Pornografi Anak dan Prostitusi Anak (pada 2005);
4. Protokol Opsional tentang Konvensi Hak Anak tentang Keterlibatan Anak dalam Konflik Bersenjata (pada 2006);
5.    Konvensi tentang Pencegahan dan Penghukuman Kejahatan Genosida (pada 2007); Statuta Roma (pada 2008); dan seterusnya. Kalau rencana aksi ini berjalan, maka pada 2009 Indonesia dapat mensejajarkan diri dengan negara-negara lain yang tingkat ratifikasinya tinggi.
BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Berdasar penelusuran historik, M. Mahfud MD menulis bahwa ada tiga konsepsi dasar yang harus dipenuhi untuk membangun negara yang sejahtera, yaitu perlindungan HAM, demokrasi, dan negara hukum. Ketiga konsep ini lahir dari paham yang menolak kekuasaan absolut menyusul Renaissance yang bergelora di dunia Barat sejak abad XIII. Pemerintah berkuasa karena rakyat memberi kekuasaan untuk menyelenggarakan pemerintahan negara, agar negara dapat memberi perlindungan atas Hak-hak Asasi Manusia (HAM). UU. No. 39 tahun 1999 bisa jadi merupakan manifestasi dari pemberian perlindungan tersebut. Jika ditelusuri ternyata konsep HAM dalam UU No. 39 tahun 1999 relevan dengan konsep HAM dalam Islam baik yang tertuang dalam al-Qur’an maupun Piagam Madinah. Bentuk relevansinya terletak pada nilai Ketuhanan Yang Maha Esa, keadilan, dan kesejahteraan bersama. Kendati demikian, pertanyaan kritis yang selalu patut dilayangkan kepada pemerintah adalah bagaimana penegakan HAM pada tataran aplikatif. Serentetan kasus yang berkaitan dengan pelanggaran HAM masih saja terjadi di Indonesia sampai sekarang. Nampaknya pembicaraan tentang hak asasi manusia hanya berhenti pada wilayah diskursif di forum-forum ilmiah tanpa pernah ditindaklanjuti secara nyata.
Jadi dapat dismpulkan bahwa pengaplikasian dan keadilan HAM di Indonesia masih banyak yang belum dijalankan sebagaimana mestinya. Bagaimana setiap Warga Negara Indonesia bisa mendapatkan hak asasi yang sama di mata hukum? Padahal kebebasan tiap warga Negara dan peraturan tentang HAM sudah diatur dalam undang undang sedemikian rupa, namun dalam pengaplikasiannya tidak sesuai dengan UU yang berlaku dan masih banyak pelanggaran HAM yang terjadi di Indonesia. Ini adalah tugas pemerintah yang ada sekarang, bagaimana setiap warga Negara mendapat perlakuan yang sama di mata hukum. Karena pada dasarnya setiap warga Negara mempunyai hak asasi yang sama di mata hukum. Namun, karena adanya money politic di Indonesia, hukum di Indonesia tiak berjalan sebagaimana mestinya. Banyaknya pelanggaran HAM di Indonesia menunjukan bagaimana lemahnya hukum di Indonesia, nahkan ini berlaku untuk warga negaranya sendiri. Ini sangat tidak mencerminkan nilai – niklai dasar pancasila, dan sama sekali tidak menganut semangat pancasila yang merupakan dasar Negara kita dari awal dan sudah kita anut bertahun – tahun.
B.     Saran
Ada baiknya nilai dasar pancasila diajarkan sedini mungkin pada generasi sekarang, tiap pendidikan formal mengedepankan juga pelajaran tentang nilai – nilai dasar pancasila. Jadi bangsa kita tidak hanya memiliki intelektual muda yang berbakat dalam hal sains dan ilmu ilmu pendidikan formal saja, tetapi kita juga memiliki generasi muda yang berakhlak dan beretika. Sehingga para pemimpim kita kelak memiliki moral dan etika dan juga saling menghargai hak asasi manusia satu sama lain.
DAFTAR PUSTAKA
Alim, Muhammad. 2001. Demokrasi dan Hak Asasi Manusia dalam Konstiitusi Madinah dan UUD 1945. Yogyakarta: UII Press.
Bahar, Saafroedin. 1997. Hak Asasi Manusia. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.
Muzaffar, Chandra. 1995. Hak Asasi Manusia dalam tata Dunia Baru (Menggugat Dominasi Global Barat). Bandung:  Mizan.
Undang-Undang RI No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.
Sumber
http://indonesianic.wordpress.com/2009/01/07/pelanggaran-hak-asasi-anak-di-indonesia/
http//:www.sekitarkita.com
http://pusham.uii.ac.id/ham/11_Chapter5.pdf

Tidak ada komentar:

Posting Komentar